----------
Senin, 31-10-2005 |
Menghadirkan Coto Mangkasara di Negeri Sakura |
Kazuhisa Matsui melafalkan kata-kata Makassar itu dengan cukup lancar dan langsung mendapatkan tepuk tangan dari peserta kursus lainnya. Dari beranda luar terdengar alunan lagu Anging Mammiri dan di dapur kecil ruangan yang tidak seberapa luas itu terjadi kesibukan sejak pagi menyiapkan hidangan Coto Mangkasara. Wangi rempah tercium hingga ke ruang kursus Bahasa Makassar. Matsui, pria Jepang yang pernah lama bertugas dan melakukan riset di Makassar, ini merasa senang karena cara pengucapan bahasa Makassarnya, terdengar sempurna. Sabtu, 29 Oktober lalu, Graha Budaya Indonesia (GBI) Tokyo menggelar kursus sehari Bahasa Makassar yang ditutup dengan menyantap coto Makassar. Pemilik GBI, Seichii Okawa, merancang kegiatan ini di tengah-tengah berlangsungnya pameran 21 lukisan karya 21 pelukis Makassar antara lain Mike Turusi, dan satu karya pelukis asal Palu, di galeri kecil miliknya itu. |
Pameran lukisan yang berlangsung mulai 17 September hingga Desember mendatang itu terselenggara kerja sama Yayasan Kemanusiaan Fajar dan GBI dan merupakan upaya pertama memperkenalkan karya-karya pelukis Sulawesi kepada masyarakat Jepang. GBI yang hanya menempati ruangan kecil berukuran sekitar empat kali enam meter itu di kawasan Takadanobaba, Tokyo, dipenuhi lukisan-lukisan yang antara lain menampilkan gambar rumah adat Toraja, kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, dan sebagainya. Sebelumnya, GBI telah menghadirkan pameran lukisan dan foto jurnaslitik misalnya dari Aceh Jakarta dan kota-kota di Indonesia lainnya. Bagi warga Jepang yang pernah berkunjung ke Makassar, hari itu memang menjadi ajang nostalgia untuk menyantap Coto Mangkasara dan mempraktekkan bahasa Makassar yang sederhana. Sedangkan bagi warga Jepang yang mengenal Indonesia sebatas pada Jakarta, pulau Jawa dan Bali atau sekadar mendengar kabarnya dari media massa, itu menjadi pengalaman baru yang memberikan pemahaman tentang betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia. Penyelenggaraan Makassar Day yang dihadiri 15 orang Jepang itu berlangsung sederhana tapi meriah. Untuk mempersiapkan Makassar Day ini, Okawa dibantu oleh Rosnaeni Tawang, mahasiswi Makassar yang sedang menjalani pendidikan S3 di Universitas Waseda, Tokyo serta Yusrianti Pontodjaf, aktivis pers asal Makassar yang kebetulan sedang berlibur di Tokyo. Mereka berdualah yang berjuang memasak coto dan bergantian mengajarkan bahasa Makassar. Singkatnya, hari itu mereka telah menjadi duta Makassar untuk mempromosikan budaya, bahasa, masakan, dan kehidupan masyarakat Makassar di hadapan warga Jepang. Bagi Okawa, kehadiran dua gadis yang masih lajang ini di Tokyo, menjadi penentu suksesnya acara Makassar Day. "Saya senang sekali mereka membantu karena telah lama saya berobsesi menghadirkan warna budaya setiap daerah di Indonesia kepada masyarakat Jepang," katanya. "Orang Jepang telah begitu akrab dengan budaya Bali dan Jawa, tapi masih sedikit yang tahu tentang daerah lain. Karena itu saya senantiasa mencari momentum untuk mengangkat budaya lokal lainnya," lanjutnya. Bagi Yusrianti dan Rosnaeni, memasak coto di negeri orang merupakan pengalaman yang unik dan tak terlupakan. Setelah mendapatkan resep coto dari seorang teman, mulailah mereka berburu bumbu dan rempah-rempah segar, tiga minggu sebelum acara digelar. Di Tokyo, karena kebanyakan pasar swalayan menjual bumbu instan dalam bentuk bubuk, maka bumbu dan rempah segar dari Indonesia harus dipesan jauh-jauh hari di toko yang khusus menjual makanan dan bumbu Indonesia. Untunglah, semua bumbu asal Indonesia, mulai dari jahe, lengkuas, sereh, ketumbar, merica, dan lainnya berhasil didapatkan yang segar dan asli dari Indonesia. Untuk urusan daging, apa boleh buat, karena kebijakan impor daging di Jepang sangat ketat, maka harus menggunakan daging lolos sensor seperti daging sapi Australia. Hanya satu yang tidak berhasil mereka dapatkan, yakni tauco (pasta kacang kedelai) khas Makassar, yang justru menjadi salah satu bumbu kunci yang menentukan aroma dan rasa kuah coto. Untuk urusan tauco, keduanya harus puas menggunakan tauco asal Thailand. Rosnaeni yang akrab dipanggil Ninok, mengaku telah pernah mencoba memasak coto, beberapa tahun lalu, saat masih kuliah di Provinsi Okinawa, Jepang Selatan. Waktu itu, dalam festival makanan internasional di kampusnya, ia satu-satunya mahasiswa asal Indonesia yang harus menyajikan makanan khas daerahnya. "Waktu itu saya masak coto di festival itu, tapi setelah jadi, rasanya lebih mirip sop daging biasa. Bukan coto," katanya sambil tertawa mengenang peristiwa lucu itu. Sementara bagi Yusrianti, aktivis pers yang selalu sibuk dengan berbagai macam kegiatan, mengakui jarang memasak di Indonesia. "Kalau mau makan coto kan tinggal pergi ke warung coto. Jadi pengalaman membuat coto sekaligus menjadi pengajar bahasa Makassar di Tokyo, betul-betul berkesan," tuturnya. Dalam kursus bahasa Makassar, baik Ninok maupun Yusrianti tidak menduga bila semua peserta begitu antusias mempelajari 100 kata yang diperkenalkan dalam waktu kurang lebih tiga jam itu. Tentu saja bagi lidah orang Jepang, ada kata-kata yang sulit dilafalkan, misalnya, angngapai, diucapkan dengan bunyi "g" yang kuat, sehingga terdengar seperti anggapai. Ada juga kata yang bunyinya sama dengan bahasa Jepang, tapi memilki arti yang berlawanan, yakni kata iye`, yang dalam bahasa Makassar artinya "ya", tapi justru dalam bahasa Jepang artinya "tidak". Menyadari hal ini, para peserta kursus pun tidak bisa menahan tawa dan tidak sedikit yang masih kebingungan memutarbalikkan artinya. Usai kursus, dalam acara menyantap coto yang bertepatan dengan waktu berbuka puasa di Tokyo, yakni pukul 16.52 sore, para peserta mengaku puas dengan hidangan coto yang disantap dengan nasi hangat dan sambal tauco. "Saya pernah tinggal satu tahun di Jakarta tapi tidak banyak tahu tentang Sulawesi atau Makassar. Ini pertama kali saya makan coto Makassar, rasanya khas, dan rempahnya berbeda dengan makanan daeraa lain ya," tutur warga Jepang, Kumi Saito yang sehari-hari membantu Seichii Okawa di GBI. Sementara Go Iwata, mahasiswa S1 jurusan studi Indonesia di Universitas Kajian Intenasional Tokyo, merasa senang karena bisa berkenalan langsung dengan warga Makassar. "Saya akan mendalami antropologi Sulawesi Selatan untuk studi S2 saya, makanya senang sekali bisa mengenal lebih dekat budaya Makassar," tuturnya dalam bahasa Indonesia yang fasih. "Sayang di sini tidak memungkinkan kami membuat ketupat atau burasa` karena daun pisang harus diimpor dan harganya mencapai Rp 10 ribu satu lembar kecil" kata Yusrianti. Meski kelelahan, ia terlihat sangat puas bisa membatu GBI menyelenggarakan Makassar Day. Petang itu, di pertengahan musim gugur yang diwarnai hujan rintik-rintik, aroma coto menyebar dan menerbitkan rasa rindu pada Makassar. Lagu Anging Mamiri yang tadi terdengar dari beranda, kini berganti dengan alunan sendu lagu Ana` Kukang. Sore itu, Seichii Okawa, yang sehari-hari bekerja sebagai koresponden Metro TV Jakarta di Tokyo, membuktikan bahwa upaya promosi budaya bisa dilakukan dengan efektif tanpa gebyar acara mewah dan menelan dana besar. Hal yang telah dilakukannya sejak membuka GBI tahun 1999. Beberapa bulan lalu, untuk mengenang bencana tsunami Aceh, GBI menghadirkan bulan Aceh dan kursus bahasa Aceh. "Saya senang akhirnya bisa mengadakan pameran Budaya Sulawesi, meski respon pemerintah daerah Sulsel tidak seantusias yang saya harapkan karena sambutan Gubernur Sulsel dan katalog pameran yang dijanjikan belum dikirim ke Tokyo hingga sekarang. Ini yang membuat saya terhambat mengadakan promosi besar-besaran. Sangat disayangkan," tuturnya sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Ia prihatin, tapi katanya, ia sudah lama maklum dengan kinerja birokrasi pemerintah di Indonesia yang selalu lamban. (Lily Yulianti Farid, warga Makasaar, bekerja untuk NHK World di Tokyo) |