Sunday, February 11, 2007

Banjar di Lombok

Pada tanggal 5-8 Februari lalu, saya jalan-jalan ke Lombok untuk menyaksikan Nyale. Dalam perjalanan ini, saya bertemu beberapa aktivis LSM di sana. Salah seorang akitivis, Bapak Moch. Yamin, menjelaskan kegiatannya revitalisasi Banjar di dusun-dusun di Lombok.

Banjar, tempat komunitas dusun, telah terkenal di Bali dan fungsinya tidak lenyap waktu Orde Baru pun. Di Lombok, Banjar dianggap sebagai tempat pesta perkawinan, pemakaman, dan sunatan. Kelompoknya Pak Yamin sedang berusaha menempatkan Banjar sebagai tempat pergaulan dan saling belajar antara anggota komunitas sekaligus pusat informasi untuk komunitas. Untuk meningkatkan akses informasi oleh masyarakat, Pak Yamin dkk mencoba menerapkan perpustakaan kecil dan fasilitas internet.

Berikut ini adalah artikel Bali Post pada 24 Januari 2004 mengenai Banjar di Lombok.

==========

Banjar di Lombok ---Tak Cuma Untuk ''Mate'' dan ''Merariq''

Banjar di Lombok sudah mucul sejak ratusan tahun yang lalu. Namun, ketika UU No.5/1974 dan UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa diberlakukan, hampir seluruh kreativitas lokal yang mewarnai kebhinekaan ''dimatikan'' dan terlibas oleh uniformitas konsep desa ala Jakarta. Kini, seiring era keterbukaan, akar tradisional yang sarat spirit kebersamaan itu tumbuh lagi. Ternyata, fungsinya pun makin melebar tidak saja sebagai banjar merariq dan banjar mate. Ada fungsi-fungsi lain yang berkembang melalui aktivitas banjar.
---------------------

Dalam tradisi masyarakat Sasak, dikenal istilah repoq atau wilayah pemukiman terkecil yang terdiri atas beberapa keluarga yang terikat secara genealogis. Latar belakang terbentuknya repoq di antaranya karena dorongan keinginan seseorang untuk lebih mendekatkan diri dengan sarana produksi yang mereka miliki seperti sawah, ladang atau kebun. Lokasi repoq seringkali jauh dari pemukiman asal, bahkan cenderung terpencil. Namun, dalam kaitan hubungan sosial kemasyarakatan, penghuni repoq masih terikat dengan komunitas asal. Ketika jumlah keluarga yang menghuni wilayah repoq kian bertambah mencapai puluhan orang -- hingga terlalu besar untuk sebuah repoq. Inilah awal mula kelahiran yang oleh masyarakat Sasak disebut sebagai gubuk.

Dalam wilayah komunitas ini kemudian tersusun perangkat sosial yang menata norma, etika, keorganisasian dan kepemimpinan, yang memunculkan istilah krama gubuk -- sebuah pola kepemimpinan kolektif yang biasa dipilih secara demokratis. Dalam tataran gubuk inilah institusi sosial pedesaan masyarakat hidup dengan nama banjar.

Budayawan M.Yamin mengemukakan konsep banjar dalam komunitas Sasak merupakan bentuk persekutuan komunitas kecil dan terbatas yang di dalamnya berlangsung beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan. "Sebagai sebuah persekutuan, maka sebuah banjar pada awalnya memiliki anggota yang keanggotaannya ditentukan berdasarkan semua warga yang ada dalam lingkup wilayah sebuah gubuk dan yang secara genealogis satu keturunan," papar Yamin. Kegiatan banjar dalam komunitas Sasak lebih mengarah pada aktivitas yang terkait dengan siklus kehidupan -- perkawinan dan kematian. "Fokus kegiatan banjar yang hanya terbatas seperti inilah yang melahirkan terminologi banjar merariq (banjar perkawinan) dan banjar mate (banjar kematian)," tukasnya.

Sebagai sebuah persekutuan, di dalam banjar terdapat hal menarik yang membuat setiap anggotanya secara spontan dan bersama-sama membangun solidaritas sosial dan kebersamaan. Masalah yang dihadapi seorang anggota, misalnya, menjadi masalah semua anggota banjar. Karena itulah, muncul kebersamaan lain, tidak hanya dalam penanganan masalah perkawinan dan kematian, melainkan meluas dalam bidang kesehatan, lingkungan hidup, kesejahteraan, gender dan pendidikan.

Pendidikan dan 'Bawaran''

Upaya mengintrodusir makna kebersamaan dalam menghadapi tantangan yang lebih bernilai investasi dan strategis menjadi wacara banjar di Lombok. Tidak sedikit kemudian banjar yang secara bersama-sama membangun kekuatan ekonomi untuk kelangsungan biaya pendidikan, dan membebaskan diri dari rentenir atau lintah darat. Kesadaran ini terefleksi dari usaha simpan pinjam yang dapat dimanfaatkan anggota untuk mengatasi kesulitan.

Pemusungan Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Barat, Kamardi, mengatakan di kawasan masyarakat adat Lombok Utara, upaya ke arah itu sudah lama dilakukan. Anggota banjar melakukan iuran dan memelihara ternak sapi. Hasilnya, menjadi beasiswa anak-anak untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, baik SMA maupun perguruan tinggi. "Dalam soal beasiswa ini, tidak dibatasi bagi anak yang cerdas, melainkan berorientasi bagi masyarakat banjar yang kurang mampu," kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ini.

Ia mencontohkan langkah yang dilakukan Banjar Tekatan, Desa Jenggala. Dengan jumlah anggota banjar yang mencapai ratusan warga, hampir segala kesulitan warga bisa teratasi akibat adanya spirit kebersamaan. Karena itu, menurut Kamardi, banjar sebetulnya menjadi sebuah jawaban kebersamaan bagi warga masyarakat -- terlebih bagi warga pedesaan yang dibelit berbagai kesulitan. "Tanpa diminta, jika ada warga yang melakukan gawe tertentu, warga banjar sudah berdatangan dengan sendirinya," jelas Kamardi.

Di Bentek sendiri terdapat 17 banjar yang justru sangat berperan dalam membangun kesejahteraan bersama. Hal serupa pun dilakukan di Banjar Banjaransari, Gubuk Mujur, Desa Montongbetok, Kecamatan Montonggaging, Kabupaten Lombok Timur, dan Banjar Temolan, Gubuk Grumpung, Desa Sepit, Kecamatan Ketuak, Lombok Timur. Khususnya di Lombok Timur, kedua banjar itu belum dilengkapi balai banjar. Untuk berkumpul, kata Yamin, setiap warga menjadi tuan rumah secara bergiliran. Nilai positifnya justru warga yang tidak pernah atau jarang ke rumah tetangganya, setiap bulan bisa saling mengunjungi. Namun, tentu saja dengan adanya balai banjar lebih memungkinkan pergerakan banjar lebih meluas lagi.

Keberadaan banjar di Lombok ternyata membangun kebersamaan dalam beragam hal. Acap kali, misalnya, anak-anak dididik tentang nilai dasar kemanusiaan melalui bawaran atau mendongeng, nembang, mengaji hingga pemberdayaan orangtua seputar peningkatan wawasan masalah kesehatan. Ke depan, katanya, keberadaan banjar hendaklah lebih dikuatkan oleh partisipasi pemerintah dengan tidak mengabaikannya. "Pemerintah jangan lagi membangun istitusi baru untuk memberdayakan masyarakat, sebab banjar sudah bisa dimanfaatkan untuk segala kebutuhan yang menyentuh masyarakat akar rumput," ucap Yamin.

Ada beberapa hal positif yang bisa dipetik dari banjar, misalnya gerakan pemberdayaan masyarakat desa oleh pemerintah, LSM dan lembaga lainnya menjadi lebih efisien dan menyentuh kelompok akar rumput. Peran banjar pun terkait dengan fungsi kontrol perilaku pemimpin pada levelnya. Sebagai contoh, keputusan Banjar Temolan beberapa waktu lalu dalam melengserkan ketua RT di wilayahnya karena diketahui yang bersangkutan melakukan penyimpangan distribusi bantuan beras untuk rakyat miskin.

Selain itu, kata Yamin, banjar di Lombok berfungsi sebagai pelestari warisan budaya. Misalnya menjadi pengelola berbagai jenis kesenian tradisional seperti gendang beleq, rebana lima, nembang (membaca lontar), kepembayunan, dan lain-lain. Bahkan, karena fungsi pelestari budaya ini Banjar Banjaransari telah meraih penghargaan dari Gubernur NTB 17 Desember 2002 dalam kapasitasnya sebagai institusi pelestari seni budaya tradisional.

* riyanto rabbah

Sumber: http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/1/24/topik.html

Saturday, February 03, 2007

Film "Bankir Kaum Papa"

Ada info tentang pemutaran film tentang Muhammad Yunus, pendiri "Grammin Bank".

----------

Mengajak teman-teman untuk datang dalam pemutaran dandiskusi film:

Le Banguier Des Humbles (Bankir Kaum Papa), sebuahkarya Arham Amirul, berdurasi 52 menit, produksi tahun2000.

Tempat: Kafe Ininnawa, Jln Perintis Kemerdekaan Km 9 No 76, depan Gedung Mercedes Benz

Waktu : 3 Februari 2007, Pkl 19:00 PM

Sekilas tentang film: Film berdurasi 52 menit inibertutur tentang Muhammad Yunus, yang terkenal denganjulukan "bankir kaum papa". Ia mulai berjuangmemerangi kemiskinan saat bencana kelaparan melandaBangladesh pada 1974. Tahun 1976 ia mendirikan GrameenBank dan mengawali misinya dengan memberikan pinjamanUS$ 27 kepada beberapa penduduk desa untukmenyelamatkan mereka dari jeratan lintah darat. Selain sebagai seorang guru besar ekonomi, ia jugadipandang sebagai salah satu pengembang utama konsep"kredit mikro". Kredit diberikan kepada para pengusahayang terlalu miskin untuk memenuhi syarat meminjam dibank-bank tradisional. Para peminjam memanfaatkan danapinjaman itu untuk membeli alat usaha, memutus rantaiperantara, dan mentransformasi hidup mereka menjadimandiri. Tahun 2006 lalu, Muhammad Yunus diganjarhadiah Nobel Perdamaian, tepat 30 tahun setelahGrameen Bank ia dirikan. Dengan kameranya yang jeli dan tajam, Arham Amirulmengikuti aktifitas Yunus sampai ke pelosok Bangladeshdan merampungkan film dokumenter tersebut pada tahun2000.

Sekilas tentang sutradara: Arham Amirul adalahseorang Bangladesh berkebangsaan Prancis. Selainbekerja sebagai sutradara film dokumenter, Arham jugamenulis puisi dan tulisan-tulisan fiksi lainnya. Filmdokumenter mutakhirnya adalah L'Eau Du Diable (AirSetan) produksi tahun 2005, berkisah tentang salahsatu keracunan massal terbesar dalam sejarah manusiayang terjadi di Bengali Barat dan Bangladesh dimanaribuan orang menderita akibat mengkonsumsi air yangdiambil dari sumber yang mengandung arsenik.

For Your Information: Diskusi akan diadakan setelahpemutaran tanpa pembicara utama, tapi tetap dipanduoleh moderator.

Thursday, February 01, 2007

Pentingnya "Tempat": Rehabilitasi Komunitas Pasca Gempa di Yogya

Pada tanggal 27-29 Januari 2007, saya sempat datang ke Yogyakarta untuk melihat keadaan rehabilitasi komunitas pasca bencana. Kebetulan ada teman saya yang sedang memikirkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengingat terus pengalaman bencana dan memperkecilkan beban traumanya. Awalnya kami meninjau ke Kab Kraten dan sekitarnya. Bangunan-bangunan pinggir jalan terlihat dibangun kembali, apalagi terlihat bangunan SD dan Puskesmas yang baru dan bagus yang dibantu oleh lembaga donatur. Namun, ada juga yang belum dibangun kembali.

Menurut teman saya, kalau dibandingkan empat bulan yang lalu yang dia datang terakhir daerah ini, rupanya ada banyak perbaikan. Salah satunya ada poster tentang cara membangun rumah tahan gempa secara rinci. Ada juga contoh rumah tahan gempa di dalam lingkungan kantor camat Gantiwarno.

Sedangkan, di pasar, menurut seorang pedagang, sama sekali tidak ada bantuan dari pemerintah. Saya melihat ada tenda yang disebut "bantuan dari Departemen Perdagangan", namun tidak terpakai.

Pada hari kedua, kami meninjau wilayah Kab Bantul dan kunjungi ke Kasongan yang terkenal sebagai pusat produksi gerabah. Secara umum, bangunan-bangunan telah mulai dibangun kembali dan pesanan gerabah juga mulai pulih. Namun, para wisatawan belum datang ke Kasongan.

Di suatu desa di Bantul, saya melihat ada tempelan di jendera rumah, disebut "Layak Pakai". Ini adalah hasil evaluasi yang dilakukan oleh UGM agar dapat dimanfaatkan untuk rehabilitasi rumah masing-masing. Namun demikian, karena ditempel "Layak Pakai", maka rumah tersebut tidak bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Memang tidak jelas pertanggungjawaban evaluasi tersebut baik untuk UGM maupun untuk pemerintah. Upaya berasal dari baik hati tetapi belum tentu akibatnya jadi seperti yang diharapkan.

Sambil melihat puin-puin rumah yang sudah lama roboh, saya merasa pentingnya suatu "tempat" untuk terus ingat pengalaman bencana dan menceritrakan kepada generasi anak dan generasi cucu. Tempat tersebut boleh menjadi tempat yang masyarakat lari dan kumpul jika ada bencana untuk mengetahui apakah keluarga dan teman-temannya selamat atau tidak. Tempat ini boleh jadi semacam pekarangan yang ditanam bungga, sayur atau pohon yang bertumbuh agar masyarakat tetap memiliki suatu harapan masa depan dan mengecilkan rasa trauma yang masih berada di dalam hati. Atau, tempat ini boleh jadi tempat ngobrolan sehari-hari sambil minum kopi dan makan kue di dalam masyarakat. "Tempat" memberikan kesempatan komunikasi antara warga untuk membagi rasa dan pengalaman bencana yang begitu berdampak kepada kehidupan mereka.

Teman saya yang tinggal di Yogya ingin mewujudkan "tempat" seperti ini di komunitas. Ada yang bilang bahwa rasa gotong royong mulai hilang sesudah bantuan pemerintah masuk desa karena muncul kecemburuan antara warga yang dapat dan yang tidak dapat. Padahal, sesudah pas gempa, semua warga apa boleh buat saling membantu untuk mengatasi suasana segala susah. Apakah "tempat" ini dapat melestarikan kembali rasa komunitas sekaligus mengingatkan peristiwa bencana?