Sunday, December 11, 2005

70% Bantuan Jepang utk Tsunami belum dimanfaatkan

Menurut berita di Jepang, bantuan urgen yang diberikan dari pemerintah Jepang untuk mengatasi masalah korban gumpa dan tsunami di Indonesia ternyata 70 persennya belum digunakan oleh pemerintah Indonesia.

Berita tersebut ada di:
http://www.asahi.com/english/Herald-asahi/TKY200512050266.html

Saya memahami keadaan tersebut, namun secara pribadi agak menyesal juga. Jangan pikir hal-hal ini hal yang sepele atau kecil. Berita ini sangat menpengaruhi perasaan orang Jepang yang benar-benar ingin menyembang sesuatu kepada para korban di Indonesia secara sungguh-sungguh. Bisa saja kami merasa bahwa buat apa kami selurkan bantuan untuk Indonesia jika tidak digunakan. Atau paling tidak, saya kuatir imaj Indonesia sulit dipulihkan dengan hal ini.

Thursday, November 03, 2005

Acara Sulawesi Day di Jepang

Acara Sulawesi Day pada 29 Oktober di Graha Budaya Indonesia, Takadanobaba, Tokyo, telah diberitakan dalam surat kabar lokal Tribun Timur, seperti yang berikut:

----------

Senin, 31-10-2005
Menghadirkan Coto Mangkasara di Negeri Sakura

Kazuhisa Matsui melafalkan kata-kata Makassar itu dengan cukup lancar dan langsung mendapatkan tepuk tangan dari peserta kursus lainnya.

Dari beranda luar terdengar alunan lagu Anging Mammiri dan di dapur kecil ruangan yang tidak seberapa luas itu terjadi kesibukan sejak pagi menyiapkan hidangan Coto Mangkasara.

Wangi rempah tercium hingga ke ruang kursus Bahasa Makassar. Matsui, pria Jepang yang pernah lama bertugas dan melakukan riset di Makassar, ini merasa senang karena cara pengucapan bahasa Makassarnya, terdengar sempurna.

Sabtu, 29 Oktober lalu, Graha Budaya Indonesia (GBI) Tokyo menggelar kursus sehari Bahasa Makassar yang ditutup dengan menyantap coto Makassar. Pemilik GBI, Seichii Okawa, merancang kegiatan ini di tengah-tengah berlangsungnya pameran 21 lukisan karya 21 pelukis Makassar antara lain Mike Turusi, dan satu karya pelukis asal Palu, di galeri kecil miliknya itu.

Pameran lukisan yang berlangsung mulai 17 September hingga Desember mendatang itu terselenggara kerja sama Yayasan Kemanusiaan Fajar dan GBI dan merupakan upaya pertama memperkenalkan karya-karya pelukis Sulawesi kepada masyarakat Jepang.

GBI yang hanya menempati ruangan kecil berukuran sekitar empat kali enam meter itu di kawasan Takadanobaba, Tokyo, dipenuhi lukisan-lukisan yang antara lain menampilkan gambar rumah adat Toraja, kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, dan sebagainya.

Sebelumnya, GBI telah menghadirkan pameran lukisan dan foto jurnaslitik misalnya dari Aceh Jakarta dan kota-kota di Indonesia lainnya.

Bagi warga Jepang yang pernah berkunjung ke Makassar, hari itu memang menjadi ajang nostalgia untuk menyantap Coto Mangkasara dan mempraktekkan bahasa Makassar yang sederhana.

Sedangkan bagi warga Jepang yang mengenal Indonesia sebatas pada Jakarta, pulau Jawa dan Bali atau sekadar mendengar kabarnya dari media massa, itu menjadi pengalaman baru yang memberikan pemahaman tentang betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia.

Penyelenggaraan Makassar Day yang dihadiri 15 orang Jepang itu berlangsung sederhana tapi meriah. Untuk mempersiapkan Makassar Day ini, Okawa dibantu oleh Rosnaeni Tawang, mahasiswi Makassar yang sedang menjalani pendidikan S3 di Universitas Waseda, Tokyo serta Yusrianti Pontodjaf, aktivis pers asal Makassar yang kebetulan sedang berlibur di Tokyo.

Mereka berdualah yang berjuang memasak coto dan bergantian mengajarkan bahasa Makassar. Singkatnya, hari itu mereka telah menjadi duta Makassar untuk mempromosikan budaya, bahasa, masakan, dan kehidupan masyarakat Makassar di hadapan warga Jepang.

Bagi Okawa, kehadiran dua gadis yang masih lajang ini di Tokyo, menjadi penentu suksesnya acara Makassar Day. "Saya senang sekali mereka membantu karena telah lama saya berobsesi menghadirkan warna budaya setiap daerah di Indonesia kepada masyarakat Jepang," katanya.

"Orang Jepang telah begitu akrab dengan budaya Bali dan Jawa, tapi masih sedikit yang tahu tentang daerah lain. Karena itu saya senantiasa mencari momentum untuk mengangkat budaya lokal lainnya," lanjutnya.

Bagi Yusrianti dan Rosnaeni, memasak coto di negeri orang merupakan pengalaman yang unik dan tak terlupakan. Setelah mendapatkan resep coto dari seorang teman, mulailah mereka berburu bumbu dan rempah-rempah segar, tiga minggu sebelum acara digelar.

Di Tokyo, karena kebanyakan pasar swalayan menjual bumbu instan dalam bentuk bubuk, maka bumbu dan rempah segar dari Indonesia harus dipesan jauh-jauh hari di toko yang khusus menjual makanan dan bumbu Indonesia.

Untunglah, semua bumbu asal Indonesia, mulai dari jahe, lengkuas, sereh, ketumbar, merica, dan lainnya berhasil didapatkan yang segar dan asli dari Indonesia. Untuk urusan daging, apa boleh buat, karena kebijakan impor daging di Jepang sangat ketat, maka harus menggunakan daging lolos sensor seperti daging sapi Australia.

Hanya satu yang tidak berhasil mereka dapatkan, yakni tauco (pasta kacang kedelai) khas Makassar, yang justru menjadi salah satu bumbu kunci yang menentukan aroma dan rasa kuah coto. Untuk urusan tauco, keduanya harus puas menggunakan tauco asal Thailand.

Rosnaeni yang akrab dipanggil Ninok, mengaku telah pernah mencoba memasak coto, beberapa tahun lalu, saat masih kuliah di Provinsi Okinawa, Jepang Selatan. Waktu itu, dalam festival makanan internasional di kampusnya, ia satu-satunya mahasiswa asal Indonesia yang harus menyajikan makanan khas daerahnya.

"Waktu itu saya masak coto di festival itu, tapi setelah jadi, rasanya lebih mirip sop daging biasa. Bukan coto," katanya sambil tertawa mengenang peristiwa lucu itu.

Sementara bagi Yusrianti, aktivis pers yang selalu sibuk dengan berbagai macam kegiatan, mengakui jarang memasak di Indonesia. "Kalau mau makan coto kan tinggal pergi ke warung coto. Jadi pengalaman membuat coto sekaligus menjadi pengajar bahasa Makassar di Tokyo, betul-betul berkesan," tuturnya.

Dalam kursus bahasa Makassar, baik Ninok maupun Yusrianti tidak menduga bila semua peserta begitu antusias mempelajari 100 kata yang diperkenalkan dalam waktu kurang lebih tiga jam itu.

Tentu saja bagi lidah orang Jepang, ada kata-kata yang sulit dilafalkan, misalnya, angngapai, diucapkan dengan bunyi "g" yang kuat, sehingga terdengar seperti anggapai.

Ada juga kata yang bunyinya sama dengan bahasa Jepang, tapi memilki arti yang berlawanan, yakni kata iye`, yang dalam bahasa Makassar artinya "ya", tapi justru dalam bahasa Jepang artinya "tidak".

Menyadari hal ini, para peserta kursus pun tidak bisa menahan tawa dan tidak sedikit yang masih kebingungan memutarbalikkan artinya.

Usai kursus, dalam acara menyantap coto yang bertepatan dengan waktu berbuka puasa di Tokyo, yakni pukul 16.52 sore, para peserta mengaku puas dengan hidangan coto yang disantap dengan nasi hangat dan sambal tauco.

"Saya pernah tinggal satu tahun di Jakarta tapi tidak banyak tahu tentang Sulawesi atau Makassar. Ini pertama kali saya makan coto Makassar, rasanya khas, dan rempahnya berbeda dengan makanan daeraa lain ya," tutur warga Jepang, Kumi Saito yang sehari-hari membantu Seichii Okawa di GBI.

Sementara Go Iwata, mahasiswa S1 jurusan studi Indonesia di Universitas Kajian Intenasional Tokyo, merasa senang karena bisa berkenalan langsung dengan warga Makassar. "Saya akan mendalami antropologi Sulawesi Selatan untuk studi S2 saya, makanya senang sekali bisa mengenal lebih dekat budaya Makassar," tuturnya dalam bahasa Indonesia yang fasih.

"Sayang di sini tidak memungkinkan kami membuat ketupat atau burasa` karena daun pisang harus diimpor dan harganya mencapai Rp 10 ribu satu lembar kecil" kata Yusrianti.

Meski kelelahan, ia terlihat sangat puas bisa membatu GBI menyelenggarakan Makassar Day. Petang itu, di pertengahan musim gugur yang diwarnai hujan rintik-rintik, aroma coto menyebar dan menerbitkan rasa rindu pada Makassar.
Lagu Anging Mamiri yang tadi terdengar dari beranda, kini berganti dengan alunan sendu lagu Ana` Kukang.

Sore itu, Seichii Okawa, yang sehari-hari bekerja sebagai koresponden Metro TV Jakarta di Tokyo, membuktikan bahwa upaya promosi budaya bisa dilakukan dengan efektif tanpa gebyar acara mewah dan menelan dana besar.

Hal yang telah dilakukannya sejak membuka GBI tahun 1999. Beberapa bulan lalu, untuk mengenang bencana tsunami Aceh, GBI menghadirkan bulan Aceh dan kursus bahasa Aceh.

"Saya senang akhirnya bisa mengadakan pameran Budaya Sulawesi, meski respon pemerintah daerah Sulsel tidak seantusias yang saya harapkan karena sambutan Gubernur Sulsel dan katalog pameran yang dijanjikan belum dikirim ke Tokyo hingga sekarang. Ini yang membuat saya terhambat mengadakan promosi besar-besaran. Sangat disayangkan," tuturnya sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Ia prihatin, tapi katanya, ia sudah lama maklum dengan kinerja birokrasi pemerintah di Indonesia yang selalu lamban. (Lily Yulianti Farid, warga Makasaar, bekerja untuk NHK World di Tokyo)

Sunday, October 23, 2005

Penerbitan Buku Puisi Aceh

Japan Aceh Net (JAN) mendukung upaya penerbitan dua macam
buku yang akan diluncurkan pada HUT Pertama Bencana Tsunami
yaitu 26 Desember 2005, dengan inisiatif rekan-rekan di
Aceh. Koran lokal Serambi Indonesia memberitakan hal ini
sebagai yang berikut.

----------

Serambi Indonesia

Kamis, 20 Oktober 2005
Rubrik: Kutaraja

JAN-ASA Terbitkan Buku Puisi "Lagu Kelu"


BANDA ACEH - Japan Aceh Net (JAN) bekerjasama dengan Aliansi
Sastrawan Aceh (ASA) akan segera menerbitkan antologi puisi
penyair Aceh serta beberapa penyair tamu dari Medan, Jakarta,
Solo, dan Malang. Buku ini dijadwalkan terbit pada peringatan
setahun tsunami.

Koordinator ASA, Doel CP Allisah menginformasikan, antologi
puisi tersebut akan diterbitkan dalam dua edisi. Untuk edisi
bahasa Indonesia dicetak di Jakarta, sedangkan edisi bahasa
Jepang/Inggris dicetak oleh pihak JAN di Tokyo, Jepang.

Menurut Doel, hingga saat ini telah terkumpul lebih 300 sajak
dari 48 penyair dan sudah diseleksi oleh satu tim. Dalam buku
yang akan diterbitkan itu, juga akan memuat puisi dari para
penyair Aceh yang telah tiada dengan terlebih dahulu menghubungi
/meminta izin ahli warisnya.

"Selain itu, kita juga akan memuat karya penyair ternama Aceh
yang telah meninggal sebelum tsunami," kata Doel.

Antologi yang akan diterbitkan itu, selain bercerita tentang
kedahsyatan tsunami Aceh juga akan berkisah tentang tempat-
tempat bersejarah, kota-kota maupun kawasan yang telah hilang
disapu bencana.

Dalam buku itu nantinya akan ditemukan bagaimana tempat-tempat
itu telah menjadi kenangan dan sekaligus suasana batin para
penyair Aceh ketika melihat kenyataan bahwa Aceh telah beribah
total.

"Peluncuran buku ini akan dilakukan di Kyodo atau Tokyo dan
juga di Banda Aceh bersamaan dengan peringatan setahun tsunami,"
demikian Doel CP Allisah mengutip Seiichi Okawa dari JAN.(nas)

Wednesday, October 19, 2005

Kokoro Sulawesi

Kokoro Sulawesi is the exhibition of Sulawesi Art, now conducted at Graha Budaya Indonesia (GBI), Takada-no-Baba, Shinkuku-ku, Tokyo untuil December 17, 2005. Ms. Yusrianti reports in the Jakarta Post, an english-written daily newspaper of Indonesia, on it as below.

----------

Sulawesi Expo makes RI arts known in Tokyo

Features - October 17, 2005

Yusrianti Y. Pontodjaf, Contributor, Tokyo, Japan

The Indonesian Cultural House (GBI), an independent institution in Tokyo, has often hosted exhibitions featuring paintings and cultural items from various regions in Indonesia. GBI is an independent institute set up by Japanese journalist Seiichi Okawa in 1998.

This time, the exhibition held at GBI Tokyo from Sept. 17 to Dec. 17, 2005 has the theme of Kokoro Sulawesi, the heart of Sulawesi, kokoro being a Japanese word meaning the heart.

This art exhibition, which features 22 works of artists from Sulawesi, one of Indonesia's major islands, is expected to express the feelings and emotions of the Sulawesi people.

Symbolically, the "k" in "kokoro" represents the k-shaped Sulawesi island.

"Oh, this is what Sulawesi dress looks like, then?" said a visitor, Hiroe Onda, referring to a painting depicting an old man wearing traditional dress with a Toraja house in the background.

Although in general Onda found the exhibition interesting, he was surprised that dark colors dominated in the paintings exhibited.

Browns, grays and blacks, he said, symbolize sorrow. Meanwhile, he added, Japanese prefer bright colors like red, golden yellow or purple.

This Sulawesi expo, which Seichii Okawa said was the first ever held in Japan, features 22 paintings, 21 of which were made by artists from South Sulawesi. The other painting was made by an artist from Palu in central Sulawesi.

As Onda had said, the uniquely Sulawesi paintings, among others, those depicting the Sandek boat (the boat of the Mandar ethnic group) and an old man donning traditional dress with a water buffalo and a Toraja house in the background, were indeed dominated by browns and grays. All these paintings will be sold at prices ranging from Rp 3 million to Rp 7 million.

Okawa said that the atmosphere and the site of the exhibition were adapted to the Sulawesi theme of the exhibition. The items and paintings placed in the room are neatly arranged to represent a unique picture of Sulawesi.

"This is my way of bringing news about Indonesia to Japan," said Okawa, who is also a Japan-based correspondent of an Indonesian television stations.

A documentary is screened in the main hall, where there is also a collection of compact discs of songs from Makassar, Bugis, Mandar, Toraja and Manado.

Free Toraja coffee is also served there. From mid-October up to the end of the month, there will be cultural lectures and courses on Makassar cooking. These courses will be held to ensure that the exhibition will be as successful as the Aceh tsunami exhibition held here in January and April 2005.

In this regard, Okawa is assisted by Kazuhisa Matsui of the Institute of Developing Economy (IDE-JETRO), a Japanese independent institution that has undertaken many activities in Indonesia, as well as by a number of students from Makassar now studying in Tokyo.

"We have contacted Makassar people now staying in Japan. Even a Japanese who once stayed in Makassar has expressed his intention of taking part in this event because of his longing for Makassar," Okawa said.

Regardless of whether or not the exhibitions on Indonesian culture that he has organized since 1998 have drawn a lot of visitors, Okawa deserves great appreciation for his indefatigable efforts in introducing Indonesia to the Japanese, especially when one takes into account that he has started all these activities as just a hobby.

Why has Okawa been so tenacious in his efforts to introduce Indonesian culture to his country?
The answer is simple: he admires and loves Indonesia.

Man behind the exhibit

It was back in 1980s, when Okawa was still a correspondent for a leading news weekly in Indonesia, that an idea struck him to hold an Indonesian expo in Japan.

In May 15, 1998, using his own money, he set up an institution called Graha Budaya Indonesia (Indonesian Cultural House). The office was located next to Tokyo Fuji University, not far from Tokyo's Takadanobaba railway station.

"Indonesia is the Paris of Asia. As a Japanese I can see this comparison. But why does the Indonesian government and our fellow journalists rarely expose this?" he inquired.

"I have brought news from Japan and other countries to Indonesia. How about the news about Indonesia published in Japan by the Japanese media? Most seem to be unfavorable," he said.

As a Japan-based correspondent of Indonesia's leading news weekly, Okawa wrote a lot for the Jakarta media publication he worked for.

As a journalist, he often visited various places in Indonesia. In his trips across the country, he saw another aspect of Indonesia. He fell in love with Indonesia and as a journalist he wanted to bring to his country news about Indonesia in art forms.

He established GBI because of his love and admiration for the works of Indonesian artists. He wanted to introduce to his fellow Japanese what he had seen in Papua, Kalimantan, Sulawesi and Aceh.

He regretted that his people, like the people in many other countries, knew only Java and Bali when they talked about Indonesia.

At present, GBI has two Indonesian employees.

This institution not only organizes exhibitions featuring Indonesia's handicraft and art works, but also gives courses on Indonesian language and culture, organizes writing contests, and holds film shows and lectures on Indonesia. So far it has held 34 photo, handicraft and film exhibitions and organized 54 courses and lectures on Indonesia.

Not long after the tsunami struck Aceh, GBI held an exhibition on this theme and raised funds to be donated to disaster victims in Aceh.

Okawa hoped that Aceh would be remembered not only because it had been devastated by a massive earthquake and the deadly tsunami, but also for its beautiful dances, unique language and culture.

Likewise, unfavorable news about the sectarian and communal conflicts in Papua, Sulawesi and other regions in Indonesia can be counterbalanced by reports conveyed in the language of art and culture.

"I have said many times that Indonesian artists are found not only in Java and Bali. There are many other artists in other regions and they are highly gifted. It is regrettable, however, that the government is yet to give them much opportunity," he stressed.

It is only natural that Okawa was rather irritated with the Indonesian government. In his efforts to introduce Indonesian culture to Japan, he has several times invited regency and provincial administrations to promote and support artists from their regions.

Unfortunately, however, the response he gets is usually either "Your idea is interesting" or "OK, we'll think about it."

The ongoing exhibition on Sulawesi is a case in point. It is Okawa and the artists whose paintings are included in this exhibition who have paid for the expenses to transport these paintings to Japan.

Earlier, Okawa asked the South Sulawesi governor and the province's tourism service to help print a catalog of the paintings and provide him with a welcoming speech to be read during the opening ceremony. Until now, when the exhibition is already under way, the catalog and the welcoming speech from the South Sulawesi provincial administration has not arrived.

Okawa has approached regional administrations and the central government in Indonesia several times in his efforts get more attention paid to Indonesian culture as a means of strengthening bilateral relations.

As a Japanese person who loves Indonesian art, Okawa hopes that Indonesia appreciates its arts and culture more than he does.

"Japan has become an advanced country," he said, "Because Japan appreciates and promotes Japanese arts."

Sunday, July 17, 2005

Kota Saiki: Sushi Nomor Satu di Dunia !


Pada 12-15 Juli, saya pergi ke propinsi Oita untuk meninjau kegiatan pembangunan daerah di sana.

Setiba di Kota Saiki, saya langsung ke rumah makan "sushi" (makanan tradisional Jepang yang nasi cuka dengan ikan mentah), Nishiki-zushi, untuk makan sushi yang terkenal. Mengapa terkenal, karena kota Saiki mencoba membangkitkan kebanggaan sendiri dengan "sushi"nya. Sejak dulu Kota Saiki menikmati bahan makanan laut yang fresh (ikan, cumi, rumput laut, kerang, udang besar dan sebagainya) dari Selat Bungo.

Memang, bentuk sushi di Saiki sangat berbeda dengan sushi di Tokyo. Di atas nasi cuka, ikan mentahnya apa saja sangat besar (mungkin 5 kali lipat dari biasa di Jepang) dan tebal sekali. Sulit sekali makan itu ke dalam mulut, maka pemasak membagikan sushinya dua untuk mudah dimakan.

Bentuk BIG ini sudah sejak 30 tahun lalu, maka di daerah Saiki ini bentuk sushi itu biasa-biasa saja. Kota Saiki sudah mempromosikan diri sebagai Kota yang menyajikan Sushi Nomor Satu di Dunia!".


Daeng KM

Friday, July 08, 2005

Jalan Raya Lama "Tokaido"


Ini adalah Jalan Raya Lama "Tokaido" di Moto-Hakone, wilayah pariwisata Hakone di Propinsi Kanagawa.

Pada zaman Edo, zaman feodal dan dikuasai Samurai (abad ke 17-19), ada lima jalan raya yang mulai dari Edo (Tokyo saat ini), yaitu Tokaido (ke Kyoto), Nakasendo (ke Nagano), Koshu-kaido (ke Kohu), Ohshu-kaido (ke Sendai), dan Nikko-kaido (ke Nikko).

Tentu waktu itu tidak ada mobil. Semua orang jalan kaki atau pakai kuda. Ternyata, Tokaido dipasang oleh batu-batu. Katanya, ini untuk calon isteri Jenderal Tokugawa yang dengan tenang datang ke Edo.

Blog ini sudah bisa pakai foto. Maka, ini percobaan pemasang foto di dalam Blog saya. Itu saja.

Daeng KM

Kegiatan INTI utk Perempuan dan Anak di Aceh

Saya barusan terima kabar dari rekan dari INTI ttg kegiatan pemberdayaan untuk perempuan dan anak di Aceh. Rupanya, banyak orang mulai lupa dan tak perhatikan lagi ttg apa yang sedang mengalami oleh kalangan lemah di Aceh. Kegiatan serupa ini harus dilakukan secara jangka menengah panjang.

Daeng KM

----------

Rekan-rekan sekalian,

Salah satu partner kerja Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) di Aceh membina Pusat Pemberdayaan Perempuan "Beujroh". Beujroh mencoba memaksimalkan potensi remaja wanita dan ibu rumah tangga Aceh untuk dapat mengakses pendidikan dan berbagai macam pengetahuan dengan lebih mudah.

Beujroh juga menjadi sarana gotong royong, tempat mereka saling berbagi dan menolong sesama . Saat ini mereka sedang menjalankan program menjahit 10.000 seragam sekolah untuk dibagikan pada anak-anak Aceh. Program ini dilakukan oleh 50 orang saja.

Beujroh juga menyediakan sarana pelatihan. Bekerjasama dengan rekan2 Aceh Media Center, pelatihan ini memperkenalkan mereka kepada dunia baru yang belum pernah mereka kenal sebelumnya : Komputer. Tak ayal, program ini mendapat perhatian dan antusiasme yang sangat tinggi dari anak-anak yang belum pernah menyentuh tuts komputer.

Selain kegiatan2 diatas, Beujroh juga mencoba membangkitkan minat membaca. Saat ini mereka membutuhkan banyak sekali buku-buku untuk perpustakaan mereka.

Kami mengetuk pintu hati rekan-rekan, apabila mempunyai buku/majalah baru/bekas yang dapat disumbangkan kepada mereka. Buku/majalah yang berkaitan dengan pelajaran, komputer, Bahasa Inggris, cerita anak, kesehatan, rumah tangga, memasak, menjahit, industri rumah tangga akan san gat berguna untuk mereka.

Seperti yang kita ketahui, Aceh menempati urutan terburuk dalam hasil ujian nasional 2005. Akses mereka untuk mendapat pengetahuan semakin terbatas, tak banyak bantuan dari pemerintah, mereka harus mencari jalan sendiri mendapatkan pengetahuan. Sumbangan buku2 Anda akan sangat berarti untuk mereka.

Buku/majalah itu dapat Anda kirim ke:

PERHIMPUNAN Indonesia Tionghoa (INTI)
Jl. Roa Malaka Utara no. 5 C-D, Jakarta 11230
telp. 691-5891
fax. 691-5893

Untuk pertanyaan lebih lanjut silakan hubungi :
Lisa Suroso (0812-9528494)
atau
Email: lisa_suroso@yahoo.com

Semua sumbangan Anda akan kami inventaris dan kami umumkan untuk menjamin transparansi dan kontrol.
Atas semua perhatiaannya kami ucapkan banyak terimakasih.

Salam,
Lisa Suroso
Perhimpunan INTI

Friday, April 29, 2005

Peluncuran Buku Minamata

Ini adalah acara peluncuran buku ttg Minamata yang akan dilakukan di Makassar, tgl 4 Mei 2005. MATSUI Kazuhisa MKS Representative in Tokyo
-----
PRESS RELEASE:
Diskusi & Peluncuran Buku Tragedi Minamata
Karya Prof. Dr. Harada Masazumi
Kasus Buyat, Sulawesi Utara, membuka mata kita: betapa berbahaya pencemaran lingkungan. Korban jiwa dan kecacatan permanen yang diakibatkannya sudah muncul ke ruang publik. Berbagai pihak pun mulai angkat bicara, menembak ke berbagai pihak yang dianggap sebagai kambing hitam, berdasar fakta dan dugaan. Sontak, Indonesia diramaikan dengan pembicaraan tentang Penyakit Minamata.
Tak pelak, kasus ini mencuatkan nama sebuah kota di selatan Jepang, Minamata. Di kota inilah, beberapa dasawarsa silam, terjadi bencana mengerikan akibat polusi merkuri dari pabrik kimia. Malapetaka polusi merkuri di kota itu menimpa beberapa generasi di beberapa pemukiman di seputar Teluk Minamata, bahkan hingga mencapai kota-kota di sekitar Laut Shiranui. Media Kajian Sulawesi (MKS) sebuah organisasi yang bekerja mengumpulkan dan menyebarluaskan studi-studi tentang Sulawesi dan diasporanya.
Misi MKS adalah turut serta membantu masyarakat lokal menemukan jati dirinya dalam proses pembangunan menuju kemandirian yang lebih tinggi di dalam masyarakat global yang bermartabat. Media Kajian Sulawesi (MKS) bekerja sama dengan Association Medical Doctors of Asia (AMDA) Indonesia dan Center of South-East Asia Studies (CSEAS) Kyoto University akan melakukan sebuah acara yang berkaitan dengan kasus Buyat dan penyakit Minamata.
Acara tersebut diberi nama Peluncuran dan Diskusi Buku "Tragedi Minamata", Karya Prof. Dr. Harada Masazumi. Acara ini akan dilaksanakan di Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Universitas Hasanuddin Makassar, Rabu 04 Mei 2005, Pukul 09.00 WITA.
Sebagai pembicara dalam acara itu, akan hadir penulis buku Tragedi Minamata, Prof. Dr. Harada Masazumi, dari Jepang. Buku Tragedi Minamata karya Prof. Dr. Harada Masazumi (diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris Minamata Desease, dalam Bahasa Jepang, Minamata Byo) dipenuhi deskripsi mengenaskan tentang korban, tentang kekeraskepalaan pihak pabrik penyebab tragedi, tentang rapuhnya ilmu kedokteran dalam memecahkan misteri penyakit minamata, serta kebebalan dan kelambanan pemerintah dalam menghadapi persoalan masyakat ini. Buku ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia semata-mata dimaksudkan untuk menjadi bahan kajian dan pembelajaran bagi masyarakat luas untuk mencegah kejadian di Minamata muncul di Bumi Indonesia, mengingat banyaknya industri yang berpeluang mencemarkan sungai, danau dan laut kita.
Media Kajian Sulawesi dengan ini mengundang pihak-pihak terkait dalam bencana pencemaran lingkungan, seperti; dokter, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pers, organisasi masyarakat, pengacara, akademisi, mahasiswa, dan para pemilik industri untuk menghadiri acara tersebut. Informasi lebih lanjut bisa menghubungi Ihsan Nasir (081524001877), Anna (08164383583)
Media Indonesia:

Sunday, April 17, 2005

Kegagalan Diplomasi Jepang

Saat ini marak unjuk rasa anti-Jepang di berbagai kota di Cina.

Demonstran benci dengan kata-kata sangat kasar terhadap produk Jepang, pemerintah Jepang, apalagi orang Jepang. Bukan hanya lempar batu atau tomat ke bangunan Konjen Jepang di Shanghai dan merusakkan restoran Jepang atau mobil Jepang, tetapi juga memukul mahasiswa orang Jepang yang minum bir sampai pinsang berkali-kali hanya dengan alasan karena orang Jepang.

Aparat keamanan tidak mencegah aksi-aksi kasar seperti ini dan mengatur demonstran dengan persiapan bis antar-jumput. Ada juga seorang polisi mengatakan bahwa saya juga sangat benci orang Jepang. Beberapa situs internet di Jepang termasuk Universitas Kumamoto diserang oleh hakker.

Pemda Kota Shanghai berjanji kepada kalangan pengusaha Jepang untuk tidak mengizinkan aksi unjuk rasa anti-Jepang karena alasan ketertiban. Eeh, ternyata mereka membiarkan maraknya unjuk rasa kemarahan terhadap Jepang.

Cina protes textbook SMA Jepang yang mana tulisannya tidak sesuai dengan pendapat Cina, meskipun textbook Jepang bukan ditentukan oleh pemerintah, tetapi dipilih oleh sekolah SMA masing-masing. Textbook bermasalah itu hanya digunakan kurang 5% SMA di Jepang.padahal, textbook Cina dan Korea semuanya ditentukan oleh pemerintah, maka tidak ada pilihan berbagai textbook seperti di Jepang.

Cina minta ucapan minta maaf atas kejahatan tentara Jepang terhadap masyarakat Cina waktu Perang Dunia Dua. Ternyata, dengan jalur diplomasi, Jepang sudah 17 kali minta maaf secara resmi terhadap Cina dan Korea. Namun fakta ini tidak diberitahukan kepada masyarakat Cina oleh pemerintah Cina. Maka, hampir semua demonstran tidak tahu fakta ini dan diajari oleh pemerintah Cina bahwa Jepang adalah musuh karena kejahatan dulu. Peristiwa kali ini sama sekali tidak diberitakan di dalam Cina.

Belakangan ini, munculnya berbagai unjunk rasa oleh petani dan masyarakat daerah di Cina karena masalah tanah atau lingkungan hidup. Aksi-aksi ini dicegah dan ditembak oleh aparat pengamanan, dam tentu tak diumumkan sebagai berita baik untuk dalam negeri maupun ke luar negeri. Ketekanan sosial di Cina berasal ketimpangan pertumbuhan ekonomi makin tinggi.

Pihak Jepang sangat bingung mengapa begitu ramainya unjuk rasa. Padahal, sampai sejauh ini, demonstrasi di Cina tidak diperbolehkan dan pengawasannya sangat ketat. Mengapa kali ini saja begitu marak dan meluas kemana-mana? Hampir semua orang Jepang menduga ada keinginan pemerintah Cina di belakang unjunk rasa ini.

Jepang ingin menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan sebelum peristiwa di Cina hampir dipastikan. Namun, Cina sebagai anggota tetapnya tidak mau Jepang masuk karena Cina merasa mewakili Asia. Saat ini Cina dan Korea ingin mencegah Jepang jadi anggotanya dengan cara apa pun. Selain ini, ada masalah senketa laut antara kedua pihak untuk pertambangan gas alam di sana. Kuatir apa yang terjadi pada KAA di Bandung bulan ini.

Dalam dunia ini, tidak ada orang yang senang dibenci dengan kekerasaan begitu saja. Banyak orang Jepang sebetulnya marah atas kekerasaan yang dibiarkan di Cina. Namun mereka menahan agar tidak melakukan aksi balas dendam.

Cina menganggap bahwa pengusaha Jepang tidak mungkin meninggalkan dari Cina karena Cina sudah menjadi pabrik di dunia, meskipun aksi-aksi kekerasaan ini. Cina tetap minta bantuan teknis dari Jepang dilanjutkan.

Sampai saat ini, konflik antara Cina dan Jepang hampir selalu dipadamkan dengan ucapan minta maaf dari Jepang. Mungkin kali ini juga bisa demikian. Jepang bisa saja dipaksakan menyatakan tidak perlu jadi anggota DK-PBB, lalu hubungan Cina-Jepang jadi normal kembali. Apa boleh buat, ini adalah kegagalan diplomasi Jepang.

Kita harus membedakan antara berbagai masalah. Jepang dan Cina harus mengkaji fakta sejarah bersama-sama biarpun kenyataannya pahit buat salah-satu pihak. Jangan memaksakan pemahaman sepihak seperti textbook Cina yang sangat kontroversial (Jepang belum pernah protes tentang isi textbook Cina karena urusan Cina, meskipun isinya sangat anti-Jepang).

Rasanya ini puncaknya sebelum pergantian pelaku utama di Asia dari Jepang ke Cina. Jepang harus siap menjadi negara nomor dua yang biasa, tapi negara sumber ilmu dan teknologi dengan kebencian kekerasaan apa pun di Asia, dengan selalu tidak lupa retropeksi diri tentang apa yang Jepang lakukan dalam sejarah.


Daeng KM

Thursday, March 10, 2005

Tajuk dari Kompas, 10 Maret 2005

Kenalilah Tanah Airmu dan Cintailah


PERSOALAN sekitar klaim Malaysia atas daerah Ambalat menyampaikan beberapa pesan. Di antaranya, kenalilah Tanah Air, cintai, olah, pelihara, serta pertahankanlah. Reaksi kita umumnya terhadap klaim atas Ambalat serupa dengan reaksi kita ketika oleh keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, kita kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan.

Reaksi itu, di antaranya, kita segera bertanya di mana letak daerah Ambalat? Kita pun mencarinya di peta, seraya bertanya kiri-kanan, serta mencermati peta dan keterangannya dalam surat kabar dan televisi. Kini kita tahu, kita bisa membayangkan, di mana letak Ambalat. Daerah Laut Sulawesi, hampir dekat pada Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan Serawak.

Kita tahu letak Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kita kenal beberapa pulai kecil lainnya, seperti Sangir Talaud dan Buru. Tetapi jumlah itu belum ada sepuluh dari 17.500 lebih pulau yang merupakan gugusan Kepulauan Indonesia.

Itulah Tanah Air dan negeri kita. Itulah negara Republik Indonesia, sungguh suatu negeri kepulauan, terdiri dari 17.500 lebih pulau besar dan kecil, yang berpenghuni maupun yang tidak.

APAKAH kita harus mengenal dan mengetahui nama dan letak lebih dari 17.500 pulau itu? Tidaklah mungkin, kita sebagai warga negara biasa mengenal semuanya. Kita mengenal yang besar, yang berpenghuni, tetapi kita sebenarnya layak mengenal dan mengetahui seluruh sosok negeri kepulauan kita itu.

Sementara pemerintah, berbagai lembaga dan instansi yang bersangkutan, serta para ilmuwan, lembaga sipil maupun militer, wajib mengetahui dan mengenalnya lebih lengkap. Terutama haruslah mengetahui dan mengenal pulau-pulau serta daerah-daerah yang rawan diklaim oleh negara tetangga.

Bukan saja, jika klaim sudah terjadi barulah kita terutama instansi, pejabat, dan orang-orang yang seharusnya wajib mengetahui, juga baru kebakaran jenggot. Barulah kelabakan dan sadar bahwa perangkat pertahanan yang memadai harus diadakan dan dipelihara.

LAGI pula, zaman berkembang dan berubah. Kenal Tanah Air, cinta Tanah Air, kenal bangsa dan negara, cinta bangsa dan negara, merupakan warisan serta pergerakan sejarah yang amat kuat pada kita, bangsa Indonesia.

Kita mengenal dan mewarisi pergerakan rakyat dan pergerakan nasional. Kita mewarisi pergerakan dan perjuangan Indonesia merdeka. Kita bahkan pelopornya bersama negara-negara Asia dan Afrika lainnya. Pergerakan dan Konferensi Asia Afrika kebetulan akan kita peringati pada bulan April mendatang.

Apakah yang kita maksudkan sebagai perkembangan dan perubahan dalam pergerakan nasional berikut berbagai implikasinya seperti mengenal dan cinta Tanah Air?

Sebelum Indonesia merdeka, dapatlah dinyatakan secara arus besar, pergerakannya dari bawah. Pergerakannya berupa interaksi daerah dan pusat. Amat jelas dan nyata, arah dan arus dinamika itu.
Setelah Indonesia merdeka, apalagi jika kita lukiskan sebagai kontras, arus pergerakan semakin lebih dari pusat ke daerah. Sentralisme dalam tata pemerintahan dan politik pemerintahan juga karena menghadapi berbagai pergolakan, semakin terpusat.

Sampai akhirnya titik balik pun tercapai. Desentralisasi, otonomi, bahkan otonomi khusus untuk dua daerah, Papua dan Aceh, kita berlakukan. Berlangsung arus balik. Kembali dinamika dipicu dari daerah, berinteraksi dengan pusat. Tetap negara kesatuan, tetapi negara kesatuan yang menganut otonomi luas.

ARUS balik dalam pola interaksi itulah yang kita jalani dan kita selenggarakan kini. Zaman berkembang seraya berubah. Beragam dinamika muncul dari arus balik itu. Titiknya bersentral pada otonomi pemerintah daerah. Otonomi dalam menyelenggarakan pemerintahan serta membangun kesejahteraan daerahnya.

Terbuka kesempatan untuk mengenal dan mengetahui daerah berikut wilayahnya. Tentunya berikut juga isi penduduknya, berikut kekayaan sumber dan lingkungan alamnya, berikut kehidupan seni dan budayanya, berikut peninggalan sejarahnya.

Kini, pengenalan dan pengetahuan Tanah Air berikut penduduk, lingkungan, sumber alam, serta kemacamragaman seni budayanya, berdinamika dari daerah, dari bawah. Lebih dekat pada sumber dan akar rumput.

MAU tidak mau, dinamika pemerintahan serta dinamika pembangunan dan pengembangan negara, bahkan juga pembangunan komunitas, bangsa dan negara, juga berdinamika dari bawah. Bukan lagi sentralisme dan sentralistis, tetapi berinteraksi, berdialog, berkomunikasi dalam kebersamaan otonomi.

Arus balik yang demikian itu, rupanya, sejalan dengan dampak dan proses globalisasi. Globalisasi mengentakkan kebangkitan masyarakat bangsa-bangsa. Bagaimana secara proaktif dan secara percaya diri menghadapi arus global yang bermanifestasi dalam ekonomi, perdagangan, pengetahuan, teknologi, industri, serta arus informasi dan komunikasi.

Kita pasif menyerah, kita sekadar ngomel dan protes atau kita bangkit menghadapi kenyataan yang dihadapi oleh semua bangsa dan negara itu? Kita gerakkan dinamika yang bersumber dari jati diri bangsa, pandangan kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa, tetapi juga dari kemauan bekerja keras, olah kecerdasan, olah ilmu dan teknologi, olah ekonomi dan kesejahteraan.

Jangan sebatas mengeluh dan protes, tetapi kita memberinya respons secara proaktif, cerdas, bijak, efektif. Kita tidak saja pandai bicara dan tunjuk muka, tetapi juga mau bekerja keras, tidak mau kalah cerdas, kerja keras, hemat, pandai mengelola sumber alam dan marilah keluar bersama dari jerat dan stigma sebagai bangsa terkorup.

ITULAH tantangan tetapi juga kesempatan, yang agar diraih bahkan digenggam oleh kita, rakyat Indonesia, oleh elite dan pimpinan masyarakat, oleh partai dan semua pergerakan masyarakat, oleh pimpinan bangsa dan negara. Kalau negara-negara lain bisa, mana mungkin kita tidak bisa. Pasti kita bisa kalau ada kemauan bersama.

Tuesday, February 08, 2005

INSPi tur di Indonesia

INSPi adalah suatu grup vokal tanpa alat musik (a cappella) yang mulai kenal dari wilayah Osaka. Maaf, saya juga baru tahu ada grup ini. Menurut Jakarta Shimbun (surat kabar bahasa Jepang di Jakarta), INSPi akan mengadakan concert di 3 kota di Indonesia termasuk TIM di Jakarta selama dua minggu pada Februari ini. Concert mereka di Indonesia hampir dibatalkan karena ada bencana besar, namun mereka ingin menyani untuk memberikan rasa solidaritas dan semangat hidup untuk korban bencana gempa dan tsunami. Semoga hati mereka dapat menumbus hati masyarakat Indonesia.

Info tentang INSPi: http://www.hamonica.com/inspi/

Saya juga pernah ikut kelompok paduan suara laki-laki waktu SMA (kebetulan SMA saya hanya siswa laki-laki saja) dan universitas. Melihat berita tentang INSPi ini, rasanya cukup nostalgis waktu menyani setiap hari. kebetulan teman saya saat ini sedang mencari lagu-lagu Indonesia yang disiapkan untuk paduan suara (laki-laki, perempuan atau campuran). Fungsi musik dan seni budaya, saya percaya, cukup kuat untuk menuju kehidupan positif dan perdamaian.

Daeng KM

Wednesday, January 26, 2005

Pengalaman Gempa Bumi Kobe

Ada beberapa website tentang penjelasan tentang pengalaman pasca gempa bumi Kobe (17 Januari 1995), dengan bahasa Inggris. Misalnya yang berikut:

http://web.kyoto-inet.or.jp/org/gakugei/kobe/key_e/index.htm

Saya sudah sarankan kepada teman-teman mahasiswa Indonesia asal Aceh untuk membuat versi bahasa Indonesia.

Lebih baik tulisan semacam ini tersebar ke teman-teman Indonesia sebagai bahan pembahasan mengenai proses rekonstruksi Aceh jangka menengah panjang. Keypoint adalah "penciptaan daerah/komunitas oleh masyarakat setempat".

Jika ada yang lain, akan saya posting lagi.

Sedang turunnya salju di wilayah Tokyo.


Daeng KM


Thursday, January 20, 2005

An Opportunity for Indonesia

Ada tajuk dari Japan Times (Bahasa Inggeris) yang berjudul "An Opportunity for Indonesia". Silahkan klik site bawah ini.

http://www.japantimes.co.jp/cgi-bin/geted.pl5?ed20050119a1.htm


Daeng KM

Terbentuk JAN (Japan Aceh Network)

Teman-teman kami, orang-orang Jepang pencinta Indonesia, sekitar 25 orang kumpul di Takada-no-Baba, Tokyo, dalam turunnya hujan dingin pada 15 Januari. Kami membahas tentang keadaan Aceh saat ini dan apa yang paling tepat jika kami melakukan sesuatu kegiatan bantuan. Ada pengimbauan dari redaksi Serambi Indonesia, satu-satunya surat kabar lokal Aceh yang dipercaya oleh masyarakat, bahwa perlu dana untuk terdapat tempat darurat yang digunakan untuk sekolah, atau puskesmas, atau tempat ngobrol untuk meredam stres dan trauma. Dengan kain plastik dan empat buah kayu tembok, bisa bertahan sampai mulainya pembangunan kembali bangunan-bangunan tersebut.

Kami setuju untuk membantu bukan makanan dan obat-obatan yang banjir di tampungan namun belum lancar distribusinya, tetapi hal-hal yang kecil tetapi urgen untuk kegiatan komunitas sehari-hari. Kami memutuskan membuat suatu wadah yang bekerjasama dengan Serambi Indonesia yang paling tahu keadaan di Aceh saat ini. Kami memberikan nama "Japan Aceh Net" atau "JAN" terhadap wadah tersebut.

Kami berpikir bahwa orang Aceh menghadapi bukan bencana alam saja tetapi juga bencana yang dibuat manusia yang namanya keadaan darurat bersama akumlasi tragedi selama puluhan tahun ini. Kegiatan JAN kami baru mulai tetapi jalannya masih panjang sekali.

Jika ada yang ingin menyumbang dana untuk JAN, silahkan salurkannya ke:

Nomor Wesel Kantor Pos Jepang: 00190-5-544521
Atas Nama: Indonesia Bunkakyu
(Jangan lupa menyampaikan nama penyumbang)

Daeng KM

Tuesday, January 11, 2005

Jepang harus berperan

Surat kabar Jepang menyatakan bahwa Jepang sebagai negara yang paling sering mengalami bencana gempa dan tsunami di dunia harus berperan sebagai pelaku untuk membantu korban gempa dan tsunami kali ini. Menurut kabar, ini telah disikapi oleh pemerintah Jepang dan pemerintah Jepang tidak mau kalah jumlah bantuan daripada negara atau instansi donor lain termasuk AS.

Pemerintah Jepang telah mengirim Pasukan Badan Pembela Diri sebesar 1000 orang ke Aceh, namun di Jepang tidak dengar suara protes terhadap pengiriman mereka dari pihak sayap kiri. Ini sangat berbeda dengan waktu Pasukannya dikirim ke Irak tahun lalu. Kegiatan Pasukan kali ini dibatasi upaya kemanusiaan dan penyelamatan korban dan itu cukup dipahami oleh masyarakat Jepang. Namun, rupanya PM Koizumi memanfaatkan kesempatan kali ini agar pengiriman Pasukannya dirasakan biasa oleh masyarakat Jepang.

Saya sangat berharap agar kegiatan Pasukan Badan Pembela Diri Jepang berperan semaksimal mungkin untuk menyelamatkan masyarakat Aceh. Sebentar lagi, Hari Peringatan Bencana Gempa Bumi Kobe pada 17 Januari tahun 1995 datang. Mungkin ada juga yang mengikuti kegiatan serupa waktu itu di Kobe di dalam anggota Pasukan yang sedang berada di Aceh kali ini.

Masyarakat Jepang akan peringati Hari Kejadian Gempa Kobe dengan rasa khusus sambil mengikuti berita-berita perkembangan kondisi Aceh dan daerah lain.


Daeng KM



Sunday, January 02, 2005

Penjarahan di Tengah Musibah

Ada berita yang sangat sedih.

Saya ambil dari http://www.gempaaceh.com/index.php?option=content&task=view&id=16 tentang moral penanganan mayat musibah. Kiranya warga setempat sudah hilang kemanusiaannya dan menjadi gila. Astaga..... Jika demikian, buat apa kita dan seruluh dunia mau membantu Indonesia? Mohon aparat segera menghentikan aksi ini dan menyingkirkan para orang gila ini dari tempat.

----------

Penjarahan di Tengah Musibah

Info relawan: Dari Banda Aceh dilaporkan bahwa banyak orang yang tidak bertanggungjawab dengan berkedok mencari saudara mulai melakukan penjarahan, bahkan tidak segan-segan menginjak mayat untuk mengambil harta benda korban tsunami. Umumnya yang dijarah adalah reruntuhan toko-toko emas, dll, juga dari media harian Waspada telah mengangkat berita yang sama. Masya Allah ada juga yang mengambil kesempatan dalam kesusahan seperti ini.

Penjarah yang terjadi di Banda Aceh dilakukan oleh orang luar/bukan orang aceh. Malah mereka yang berkedok relawan juga meminta biaya sekitar 200-500rb baru mau melakukan/mengevakuasi mayat-mayat. Kebanyakan mereka relawan dari Luar aceh. Masya allah..

Ada yang menari di atas mayat yang bergelimpangan. Benarlah rakyat kita terutama yang berkedok relawan moralnya sangat dan sangat bejat rela melakukan hal-hal seperti menjarah, meminta bayaran untuk mengangkat mayat, ALLAHUAKBAR!

----------

Daeng KM