Kenalilah Tanah Airmu dan Cintailah
PERSOALAN sekitar klaim Malaysia atas daerah Ambalat menyampaikan beberapa pesan. Di antaranya, kenalilah Tanah Air, cintai, olah, pelihara, serta pertahankanlah. Reaksi kita umumnya terhadap klaim atas Ambalat serupa dengan reaksi kita ketika oleh keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, kita kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Reaksi itu, di antaranya, kita segera bertanya di mana letak daerah Ambalat? Kita pun mencarinya di peta, seraya bertanya kiri-kanan, serta mencermati peta dan keterangannya dalam surat kabar dan televisi. Kini kita tahu, kita bisa membayangkan, di mana letak Ambalat. Daerah Laut Sulawesi, hampir dekat pada Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan Serawak.
Kita tahu letak Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kita kenal beberapa pulai kecil lainnya, seperti Sangir Talaud dan Buru. Tetapi jumlah itu belum ada sepuluh dari 17.500 lebih pulau yang merupakan gugusan Kepulauan Indonesia.
Itulah Tanah Air dan negeri kita. Itulah negara Republik Indonesia, sungguh suatu negeri kepulauan, terdiri dari 17.500 lebih pulau besar dan kecil, yang berpenghuni maupun yang tidak.
APAKAH kita harus mengenal dan mengetahui nama dan letak lebih dari 17.500 pulau itu? Tidaklah mungkin, kita sebagai warga negara biasa mengenal semuanya. Kita mengenal yang besar, yang berpenghuni, tetapi kita sebenarnya layak mengenal dan mengetahui seluruh sosok negeri kepulauan kita itu.
Sementara pemerintah, berbagai lembaga dan instansi yang bersangkutan, serta para ilmuwan, lembaga sipil maupun militer, wajib mengetahui dan mengenalnya lebih lengkap. Terutama haruslah mengetahui dan mengenal pulau-pulau serta daerah-daerah yang rawan diklaim oleh negara tetangga.
Bukan saja, jika klaim sudah terjadi barulah kita terutama instansi, pejabat, dan orang-orang yang seharusnya wajib mengetahui, juga baru kebakaran jenggot. Barulah kelabakan dan sadar bahwa perangkat pertahanan yang memadai harus diadakan dan dipelihara.
LAGI pula, zaman berkembang dan berubah. Kenal Tanah Air, cinta Tanah Air, kenal bangsa dan negara, cinta bangsa dan negara, merupakan warisan serta pergerakan sejarah yang amat kuat pada kita, bangsa Indonesia.
Kita mengenal dan mewarisi pergerakan rakyat dan pergerakan nasional. Kita mewarisi pergerakan dan perjuangan Indonesia merdeka. Kita bahkan pelopornya bersama negara-negara Asia dan Afrika lainnya. Pergerakan dan Konferensi Asia Afrika kebetulan akan kita peringati pada bulan April mendatang.
Apakah yang kita maksudkan sebagai perkembangan dan perubahan dalam pergerakan nasional berikut berbagai implikasinya seperti mengenal dan cinta Tanah Air?
Sebelum Indonesia merdeka, dapatlah dinyatakan secara arus besar, pergerakannya dari bawah. Pergerakannya berupa interaksi daerah dan pusat. Amat jelas dan nyata, arah dan arus dinamika itu.
Setelah Indonesia merdeka, apalagi jika kita lukiskan sebagai kontras, arus pergerakan semakin lebih dari pusat ke daerah. Sentralisme dalam tata pemerintahan dan politik pemerintahan juga karena menghadapi berbagai pergolakan, semakin terpusat.
Sampai akhirnya titik balik pun tercapai. Desentralisasi, otonomi, bahkan otonomi khusus untuk dua daerah, Papua dan Aceh, kita berlakukan. Berlangsung arus balik. Kembali dinamika dipicu dari daerah, berinteraksi dengan pusat. Tetap negara kesatuan, tetapi negara kesatuan yang menganut otonomi luas.
ARUS balik dalam pola interaksi itulah yang kita jalani dan kita selenggarakan kini. Zaman berkembang seraya berubah. Beragam dinamika muncul dari arus balik itu. Titiknya bersentral pada otonomi pemerintah daerah. Otonomi dalam menyelenggarakan pemerintahan serta membangun kesejahteraan daerahnya.
Terbuka kesempatan untuk mengenal dan mengetahui daerah berikut wilayahnya. Tentunya berikut juga isi penduduknya, berikut kekayaan sumber dan lingkungan alamnya, berikut kehidupan seni dan budayanya, berikut peninggalan sejarahnya.
Kini, pengenalan dan pengetahuan Tanah Air berikut penduduk, lingkungan, sumber alam, serta kemacamragaman seni budayanya, berdinamika dari daerah, dari bawah. Lebih dekat pada sumber dan akar rumput.
MAU tidak mau, dinamika pemerintahan serta dinamika pembangunan dan pengembangan negara, bahkan juga pembangunan komunitas, bangsa dan negara, juga berdinamika dari bawah. Bukan lagi sentralisme dan sentralistis, tetapi berinteraksi, berdialog, berkomunikasi dalam kebersamaan otonomi.
Arus balik yang demikian itu, rupanya, sejalan dengan dampak dan proses globalisasi. Globalisasi mengentakkan kebangkitan masyarakat bangsa-bangsa. Bagaimana secara proaktif dan secara percaya diri menghadapi arus global yang bermanifestasi dalam ekonomi, perdagangan, pengetahuan, teknologi, industri, serta arus informasi dan komunikasi.
Kita pasif menyerah, kita sekadar ngomel dan protes atau kita bangkit menghadapi kenyataan yang dihadapi oleh semua bangsa dan negara itu? Kita gerakkan dinamika yang bersumber dari jati diri bangsa, pandangan kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa, tetapi juga dari kemauan bekerja keras, olah kecerdasan, olah ilmu dan teknologi, olah ekonomi dan kesejahteraan.
Jangan sebatas mengeluh dan protes, tetapi kita memberinya respons secara proaktif, cerdas, bijak, efektif. Kita tidak saja pandai bicara dan tunjuk muka, tetapi juga mau bekerja keras, tidak mau kalah cerdas, kerja keras, hemat, pandai mengelola sumber alam dan marilah keluar bersama dari jerat dan stigma sebagai bangsa terkorup.
ITULAH tantangan tetapi juga kesempatan, yang agar diraih bahkan digenggam oleh kita, rakyat Indonesia, oleh elite dan pimpinan masyarakat, oleh partai dan semua pergerakan masyarakat, oleh pimpinan bangsa dan negara. Kalau negara-negara lain bisa, mana mungkin kita tidak bisa. Pasti kita bisa kalau ada kemauan bersama.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment