Menurut teman saya, kalau dibandingkan empat bulan yang lalu yang dia datang terakhir daerah ini, rupanya ada banyak perbaikan. Salah satunya ada poster tentang cara membangun rumah tahan gempa secara rinci. Ada juga contoh rumah tahan gempa di dalam lingkungan kantor camat Gantiwarno.
Sedangkan, di pasar, menurut seorang pedagang, sama sekali tidak ada bantuan dari pemerintah. Saya melihat ada tenda yang disebut "bantuan dari Departemen Perdagangan", namun tidak terpakai.
Pada hari kedua, kami meninjau wilayah Kab Bantul dan kunjungi ke Kasongan yang terkenal sebagai pusat produksi gerabah. Secara umum, bangunan-bangunan telah mulai dibangun kembali dan pesanan gerabah juga mulai pulih. Namun, para wisatawan belum datang ke Kasongan.Di suatu desa di Bantul, saya melihat ada tempelan di jendera rumah, disebut "Layak Pakai". Ini adalah hasil evaluasi yang dilakukan oleh UGM agar dapat dimanfaatkan untuk rehabilitasi rumah masing-masing. Namun demikian, karena ditempel "Layak Pakai", maka rumah tersebut tidak bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Memang tidak jelas pertanggungjawaban evaluasi tersebut baik untuk UGM maupun untuk pemerintah. Upaya berasal dari baik hati tetapi belum tentu akibatnya jadi seperti yang diharapkan.
Sambil melihat puin-puin rumah yang sudah lama roboh, saya merasa pentingnya suatu "tempat" untuk terus ingat pengalaman bencana dan menceritrakan kepada generasi anak dan generasi cucu. Tempat tersebut boleh menjadi tempat yang masyarakat lari dan kumpul jika ada bencana untuk mengetahui apakah keluarga dan teman-temannya selamat atau tidak. Tempat ini boleh jadi semacam pekarangan yang ditanam bungga, sayur atau pohon yang bertumbuh agar masyarakat tetap memiliki suatu harapan masa depan dan mengecilkan rasa trauma yang masih berada di dalam hati. Atau, tempat ini boleh jadi tempat ngobrolan sehari-hari sambil minum kopi dan makan kue di dalam masyarakat. "Tempat" memberikan kesempatan komunikasi antara warga untuk membagi rasa dan pengalaman bencana yang begitu berdampak kepada kehidupan mereka.
Teman saya yang tinggal di Yogya ingin mewujudkan "tempat" seperti ini di komunitas. Ada yang bilang bahwa rasa gotong royong mulai hilang sesudah bantuan pemerintah masuk desa karena muncul kecemburuan antara warga yang dapat dan yang tidak dapat. Padahal, sesudah pas gempa, semua warga apa boleh buat saling membantu untuk mengatasi suasana segala susah. Apakah "tempat" ini dapat melestarikan kembali rasa komunitas sekaligus mengingatkan peristiwa bencana?
No comments:
Post a Comment